ULM Akan Sulap 621 Hektare Lahan Mangrove di Kotabaru Jadi Sumber Pengingkatan Ekonomi
2 min readBANJARBARU – Seluas 621 hektare lahan mangrove di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, akan menjadi pusat penelitian mangrove dunia yang dikelola oleh perguruan tinggi.
Salah satu perguruan tinggi yang telah mendedikasikan diri pada pengelolaan lahan basah termasuk lahan mangrove yakni Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
“ULM berperan sebagai perguruan tinggi yang turut serta berkontribusi untuk kelestarian dan pemanfaatan lahan basah. Sehingga membutuhkan dukungan penuh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” ujar Rektor ULM Ahmad Alim Bachri, usai menggelar kuliah umum tentang perhutanan sosial dan lahan basah, di Auditorium ULM Banjarbaru, Jumat (23/2).
Menurut Ahmad, lahan basah merupakan salah satu potensi yang luar biasa baik dari sisi ekonomi maupun sisi kelestarian lingkungan.
Sebab itu, pada tahun 2023 lalu ULM telah menyusun proposal teknis permohonan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada Kawasan Hutan Produksi seluas 621 hektare melalui Koperasi Konsumen Berkah Wasaka Mandiri.
Bahkan, menurut data KLHK, ULM merupakan satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang mengajukan permohonan PBPH lahan mangrove.
“Seperti yang kita harapkan. Mudah-mudahan lahan mangrove di Kotabaru bisa menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat, pusat perkembangan pariwisata, dan pusat pengembangan pengendalian lahan basah melalui hutan mangrove,” kata Ahmad.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) KLHK, Hanif Faisol Nurofiq, mengatakan dokumen pengajuan PBPH itu saat ini sedang proses verifikasi dan tahapannya akan semakin cepat berlangsung.
“Kenapa PBPH ? karena disitu diperbolehkan multi usaha untuk membangun dan mendayagunakan sumberdaya yang ada disana,” beber Hanif.
Menurut Hanif, PBPH lahan mangrove yang meliputi enam desa di Pulau Laut, Kotabaru itu juga penting. Mengingat lokasi tersebut akan dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Disisi lain, kawasan tersebut dinilai mampu menggantikan fungsi sentral pelabuhan Sungai Barito untuk Kalsel ke Pulau Laut.
“Karena sedimentasi yang hampir 400 meter kubik perhari di pelabuhan Sungai Barito tidak mudah ditangani. Kemampuan kita hanya 100 meter kubik mengeruknya,” jelas Hanif.
Hanif menyebut pihaknya akan mendukung segala upaya perguruan tinggi dalam melakukan langkah-langkah pengelolaan kelestarian lingkungan hidup.
“Dengan dukungan multipihak pengelolaan lahan basah juga dapat mendorong terciptanya lapangan kerja hijau dari aktivitas restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove serta komoditas ramah gambut dan pengembangan silvofishery di kawasan mangrove,” tutup Hanif. (SYA/RDM/RH)