Stunting di Kabupaten Banjar Masuk Zona Merah
3 min readBANJAR – Kabupaten Banjar berada di urutan angka tertinggi kasus stunting di Kalsel dengan prevalensi 40,2 persen menyusul beberapa wilayah seperti Barito Kuala, Tapin dan Balangan yang diketahui juga berada di atas kisaran 30 persen.
Padahal ambang batas yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia atau WHO untuk kasus stunting hanya berkisar diangka 20 persen. Terlebih, angka prevalensi di atas kirasan 30 persen dinyatakan sebagai wilayah berstatus ‘merah’.
Menyikapi itu Sekretaris BKKBN Provinsi Kalsel dr Lasma Uli Lumbantoruan mengungkapkan perlu upaya keras agar pengentasan kasus stunting di Kabupaten Banjar dapat ditekan.
“Adapun yang menjadi perhatian serius adalah faktor spesifik cakupan kehadiran bagi ibu-ibu yang mempunyai balita di posyandu kemudian pemberian makanan tambahan untuk wanita hamil, kesertaan ber KB dimana bisa melalui empat terlalu yakni terlalu muda, tua, dekat dan banyak,” ujarnya usai mengikuti audiensi percepatan penanganan stunting bersama TPPS Banjar, di Aula Barakat Setdakab Banjar, Kamis (9/6) siang.
Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, lima wilayah di Kalsel termasuk dalam 76 kabupaten/kota berkategori ‘merah’ diantara 246 daerah di 12 provinsi prioritas di tanah air yang memiliki prevalensi stunting tinggi.
Terkait data, menurut Lasma, keberadaan sanitasi standart dan ketersediaan air layak minum juga menjadi indikator menekan stunting.
“Mudah-mudahan poin penting yang disampaikan pada audiensi ini bisa dioptimalkan agar bisa mendongkrak penurunan angka stunting di Kabupaten Banjar,” tuturnya.
Sedangkan zona ‘kuning’ di Kalsel berada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Utara (HSU) Tabalong, Kotabaru dan Kota Banjarmasin yang rata-rata memiliki prevelensi 20 – 30 persen.
Kendati begitu, prevalensi HST yang berkisar 29,6 persen dan HSS berada di angka 29,1 persen itu nyaris masuk zona merah.
“Kabupaten Banjar memang berada diprevalensi 40,2 persen berdasarkan SSGI,” beber Sekretaris BKKBN Kalsel dr Lasma Uli Lumbantoruan.
Sementara itu Koordinator Satgas Percepatan Penurunan Stunting Kalsel Didi Ariyadi menyebut dari 15 provinsi di Indonesia ternyata kasus kekerdilan (stunting) di Kalimantan Selatan berada diurutan ke enam secara nasional.
“Kita ketahui Kabupaten Banjar memiliki prevalensi tinggi sekali sekitar 40 persen. Kalsel ini angkanya jauh sekali dengan Bali yang hanya berkisar 11 persen. Sehingga hal ini butuh kerjasama semua pihak tidak hanya dilakukan secara spesipik oleh sektor kesehatan saja,” ungkapnya.
Kendati demikian tercatat saat ini masih ada daerah yang berstatus ‘hijau’ dengan prevalensi sekitar 10 – 20 persen yakni Kota Banjarbaru. Menyusul Kabupaten Tanah Bumbu 18,7 persen dan masuk kategori terendah di Kalsel.
Terpisah, Ketua TP PKK Kabupaten Banjar Nurgita Tyas menyampaikan salah satu alasan pemicu keberadaan stunting di wilayahnya terdapat masih banyaknya masyarakat yang mengonsumsi ikan asin ketimbang komoditi segar.
“Di daerah pesisir Aluh-Aluh padahal mayoritas pekerjaan mereka nelayan yang dengan mudah mendapatkan ikan segar. Namun, fakta di lapangan saya melihat ada kebiasaan masyarakat disana untuk mengawetkan ikan dan mengonsumsinya tanpa ada nilai gizinya lagi,” ucapnya.
Bersamaan itu, ia siap berkomitmen untuk menurunkan prevalensi kasus stunting di Kabupaten Banjar dengan meminta dukungan serius dari berbagai instansi terkait.
“Saya juga memohon bantuan Satgas dan dukungan serius untuk menurunkan angka stunting di daerah ini serta dari berbagai sektor akan sama-sama kita dongkrak terutama untuk penginputan data,” ungkapnya.
Sekedar diketahui, Pemprov Kalsel diminta berkomitmen menurunkan angka prevalensi stunting hingga 25,71 persen di akhir 2022. Selain itu juga ditargetkan memiliki angka prevalensi sekitar 21,51 persen pada 2023. Tahun 2024, sesuai yang diharapkan Kalimantan Selatan dapat menyentuh angka 17,27 persen. (RHS/RDM/RH)