RAN PASTI di Kalsel, Komitmen Pemerintah Menekan Angka Stunting di Bumi Lambung Mangkurat
3 min readBANJARMASIN – Provinsi Kalimantan Selatan memiliki peran besar dalam penurunan angka stunting di tanah air. Jika prevalensi stunting di Kalimantan Selatan, terutama di daerah berstatus merah turun drastis, maka kontribusinya untuk penurunan angka stunting di tanah air cukup berarti.
Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari 12 provinsi prioritas yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di tanah air pada tahun 2022 ini. Berdasarkan Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, lima wilayah di Kalimantan Selatan termasuk dalam 76 kabupaten/kota berkategori “merah” diantara 246 kabupaten/kota di 12 provinsi prioritas di tanah air yang memiliki prevalensi stunting tinggi. Status merah disematkan untuk wilayah yang memiliki prevalensi stunting di atas kisaran 30 persen.
Setidaknya ada 4 kabupaten di Kalsel yang memiliki prevalensi di atas 30 persen. Yakni kabupaten Banjar, Tapin, Barito Kuala, dan Balanganz dengan revalensi di atas 32 persen. Padahal batas ambang atas yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia atau WHO adalah 20 persen.
Enam daerah yang berstatus “kuning” dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, adalah Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Kota Banjarmasin, Kotabaru dan Hulu Sungai Utara. Bahkan, Hulu Sungai Tengah dengan prevalensi 29,6 persen dan Hulu Sungai Selatan dengan 29,1 persen, nyaris berstatus merah.
Sementara itu kota Banjarbaru dan Tanah Bumbu berpredikat “hijau” dengan angka prevalensi stuntingnya di antara 10 hingga 20 persen. Tanah Bumbu dengan prevalensi 18,7 persen menjadi daerah yang memiliki prevalensi angka stunting terendah di Kalimantan Selatan. Tidak ada satu pun daerah di Kalimantan Selatan yang berstatus “biru” yakni dengan prevalensi di bawah 10 persen.
Secara nasional, Presiden Joko Widodo menargetkan, capaian angka stunting 14 persen di tahun 2024. Sesuai dengan komitmen itu, maka laju penurunan stunting per tahun haruslah dikisaran 3,4 persen. Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, dan Peraturan BKKBN Nomor 12 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia, menunjukan keseriusan dalam penanganan stunting di tingkat pusat maupun di tingkat pemerintah daerah.
Dengan melihat kondisi aktual yang terjadi saat ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan diminta berkomitmen, untuk menurunkan prevalensi stunting di hingga 25,71 persen pada akhir 2022. Tidak itu saja, Kalimantan Selatan juga ditarget memiliki angka prevalensi stunting 21,51 persen di 2023, dan diharapkan di 2024 menyentuh angka 17,27 persen.
“Komitmen itu sudah kami buktikan dengan membentuk Tim Pendamping Keluarga sebanyak 3 ribu orang lebih. Dimana setiap kabupaten/kota akan ditempatkan 3 orang, yang diantaranya berprofesi sebagai bidan dan penyuluh KB. Selain itu, kami juga mendesak pemerintah kabupaten kota, untuk membentuk tim yang sama. Sehingga terjadi percepatan penurunan angka stunting, seperti yang diharapkan,” papar Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel, Roy Rizali Anwar, saat konferensi pers Rencana Aksi Nasional Penurunan Stunting Indonesia (RAN PASTI) di 12 Provinsi Prioritas, pada Senin (21/3) di salah satu hotel berbintang di Banjarmasin.
Hal lain yang sudah dilakukan menurut Roy, adalah rutin memberikan tablet tambah darah kepada remaja putri dan ibu hamil. Tujuannya untuk menekan kasus anemia, yang menjadi salah satu pemicu tingginya kelahiran yang mengalami stunting. Harapannya, pada 2024 tidak ada lagi wilayah yang berstatus merah di Kalimantan Selatan.
BKKBN yang diberi amanah Presiden Joko Widodo sebagai ketua pelaksana percepatan penurunan stunting, sesuai Peraturan Presiden Nomor 72/2021, berharap dengan adanya Sosialisasi RAN PASTI tersebut, dapat memberikan penjelasan secara komprehensif kepada para pemangku kepentingan mengenai mekanisme tata kerja percepatan penurunan stunting di tingkat provinsi, kabupaten dan kota serta desa.
“Jumlah penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh generasi muda yang baru berkeluarga dan yang akan berkeluarga. Tahun 2025 hingga 2035 adalah puncaknya bonus demografi sehingga kita tidak boleh lengah akan potensi lahirnya bayi-bayi stunting. Stunting bisa dicegah asalkan kita semua berkonvergensi untuk mengatasi persoalan itu,” ungkap Inspektur Utama (Irtama) BKKBN Ari Dwikora Tono.
Menurut Ari Dwikora Tono, BKKBN menyadari peran keluarga begitu sangat strategis sehingga patut disematkan sebutan keluarga sebagai tiang negera. Keluarga yang sehat, produktif dan memiliki kualitas dipastikan akan memiliki bayi-bayi yang sehat pula. (RIW/RDM/RH)